Filosofi Kopi: Ben dan Jody (2017) – Ekspansi Franchise, Perdalam Materi

Dua tahun setelah Ben (Chico Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) mengalihkan kedai Filosofi Kopi menjadi kedai kopi keliling se-Indonesia dalam VW combi, mereka kembali mengalami guncangan. Seiring dengan para karyawan yang memutuskan untuk menetap dan memulai kehidupan baru di Jakarta, Ben mulai mempertanyakan tujuan mereka. Kedua sahabat itu pun berusaha memulai ulang usaha mereka di kedai Filosofi Kopi yang lama. Setelah pencarian panjang, mereka bertemu dengan Tarra (Luna Maya), seorang investor yang memberikan dana besar serta kesempatan untuk ekspansi ke kota-kota lain. Nampak terlalu indah untuk menjadi kenyataan, namun tidak semua hal akan berjalan sesuai rencana.

Ekspansi. Mungkin inilah yang muncul dalam pikiran penonton ketika mendengar rencana pembuatan sekuel Filosofi Kopi. Filosofi Kopi (2015) mendapat sambutan yang cukup ramai dari penonton film Indonesia sebagai adaptasi cerpen Dee yang dibintangi para tampan idola khalayak. Apalagi saat mereka merealisasikan Filosofi Kopi sebagai kedai kopi bergaya hipster di Jakarta Selatan, yang masih populer bahkan selama jeda antara kedua film. Tidak ada yang salah dengan mengulang hype tersebut sembari mencari keuntungan lebih, layaknya film-film sekuel pada umumnya.

Namun, apakah kita membutuhkan sebuah sekuel? Sekilas, premis di atas terkesan mengada-ada dan cari masalah. Dilihat dari kacamata logis, justru keunikan kedai kopi VW combi dengan segala estetika kekiniannya-lah yang menjadi nilai jual bisnis Ben dan Jody. Untuk apa mereka kembali ke Jakarta yang sudah banjir kedai kopi? Lagipula, apakah semudah itu merebut kembali salah satu lokasi toko yang lumayan strategis di Jakart—wow, ternyata mudah, toko itu dibiarkan kosong begitu saja oleh sang empunya. Beberapa pengecualian memang harus dibuat demi memajukan plot, namun sulit untuk mengabaikan kemudahan-kemudahan seperti ini. Bagaikan ada counter Cinema Sins yang terus berbunyi di awal film, ditambah lagi dengan beberapa potong dialog pretensius dan kelakuan impulsif Ben yang cenderung tidak masuk akal.

Meskipun awalnya agak sulit dinikmati, cerita berkembang dengan sendirinya seiring waktu. Sebuah titik peralihan besar dalam cerita menjadi kesempatan untuk mengamati kembali celah-celah hubungan Ben dan Jody. Tampak bahwa Ben cenderung egosentris dan tidak rasional dalam pilihan-pilihannya, sehingga Jody yang kalem lebih sering mengalah. Keadaan ini secara konsisten ditampilkan secara subtil melalui gestur dan dialog sejak film yang pertama, sehingga permasalahan ini tidak muncul secara tiba-tiba. Karakterisasi para tokoh baru pun dieksplor, tak hanya menjadi love-interest yang dua-dimensional. Selain Tarra ada pula Brie (Nadine Alexandra), barista baru yang sering bentrok dengan Ben karena cara kerjanya yang berbeda. Penulisan yang baik membuat perkembangan karakter mereka terasa alami. Kabar baik selanjutnya, Luna Maya dan Nadine Alexandra memerankan dimensi-dimensi manusiawi karakter mereka dengan apik, tidak sekaku karakter El (Julie Estelle) di film pertama.

Sebagai film sekuel, Filosofi Kopi: Ben dan Jody benar-benar belajar dari kesalahan pendahulunya. Penjelasan adegan yang memberatkan dialog kini dihindari dengan penggunaan visual yang lebih optimal dan dialog tak langsung. Perbedaan yang jelas dapat disadari ketika membandingkan penjelasan latar belakang karakter Tarra dengan karakter El di film yang lalu. Membicarakan visual, sinematografi dan editing berpadu dengan tepat, tidak hanya indah namun juga simbolis. Di film pertama, beberapa adegan direkam dengan posisi kamera shaky pada saat yang tidak tepat, yang justru malah mengganggu penonton. Kini, kamera shaky masih digunakan dalam beberapa adegan dengan lebih halus, sehingga menghasilkan efek yang tepat.

Sementara chemistry antara tokoh Ben dan Jody serta humor yang diselipkan dalam adegan-adegan menjadi salah satu kekuatan film ini. Hal ini terus dipertahankan dari film yang pertama, bersama dengan kecintaan mereka terhadap apa yang dilakukan; jiwa yang menggerakkan kedua film Filosofi Kopi. Satu detail yang layak diapresiasi adalah ditampilkannya pegiat-pegiat kopi lainnya dalam film ini. Hal tersebut membangun sebuah rasa komunitas yang nyata. Posisi kopi pun ditegaskan dalam film ini; tak hanya sekedar minuman, namun juga budaya bersama yang mengikat mereka dalam rasa cinta. Sebuah pesan yang telah dimunculkan dalam film pertama, namun diperluas dampaknya terhadap orang-orang di luar lingkaran Ben, Jody, dan kawan-kawannya—masih mempertahankan tema ekspansi.

Pada akhirnya, kejutan bisa datang dari mana saja. Termasuk Filosofi Kopi: Ben dan Jody, melampaui batas medioker yang ditetapkan oleh pendahulunya. Meskipun masih ada beberapa poin klise dan dialog “buku” yang terasa janggal diucapkan, film ini mampu membuktikan diri melalui penggalian karakter dan penyelesaian konflik secara mendalam dan perlahan. Boleh dibilang, ekspansi telah berhasil.

Penulis: Dini Adanurani – Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Foto: Pikiran Rakyat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *