Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak: Efektivitas Kesederhanaan dalam Empat Babak

 

Penulis memiliki stigma akan film independen nusantara karena kebanyakan film yang penulis saksikan di festival-festival, di bioskop resmi dan di situs streaming kebanyakan memiliki nilai produksi yang kacangan, penulisan yang sok Hollywood bin edgy bin pretensius, ditambah pengarahan sok nyeni dan alur yang memaksakan diri agar sangat halus namun malah jatuhnya sangat lambat. Gampangnya: “Istirahatlah Kata-Kata” ala Yosep Anggi Noen. Film itu membuat penulis berhenti menonton film art house untuk sementara, saking pretensiusnya. Penulis berekspektasi “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” akan berakhir seperti “Wiji Thukul Mengantar Anda Tidur.”

Saya salah. Apa yang penulis tonton adalah lebih dari sekedar film thriller, namun juga slice of life dengan bumbu petualangan. Persetan dengan seleksi Cannes Film Festival, film bagus ya film berkualitas, baik berpredikat maupun tidak.

Anda tahu film termasuk dalam kategori “nyeni”, “artsy”, “bukan kacangan” dengan entah berapa belas logo yang harus anda pedulikan sebelum lanskap Pulau Sumba benar-benar menyabut anda masuk ke babak pertama dari sang gadis sampul: Marlina (diperankan oleh Marsha Timothy), seorang janda yang dibantu oleh Novi (Dea Panendra) menuju kantor polisi setelah membunuh gerombolan perampok, termasuk memenggal kepala pimpinannya, Markus (diperankan aktor kawakan Egi Fedly) dan diburu oleh Franz (Yoga Pratama) yang menginginkan kepala Markus kembali. Ada aura film Sergio Leone yang pekat dalam film ini: cerita emansipasi “koboi” dengan latar belakang sabana, diiringi nyanyian dalam bahasa Kambera dan soundtrack bernafaskan country. Banyaknya long shot dan blocking shot seperti memang karena ingin memamerkan latar belakang Pulau Sumba meskipun terbatas pada sabananya saja, namun dapat membuat anda terasa bebas dan lepas ke dalam panoramanya.

Karakternya yang hanya satu setengah dimensi justru menjadi kunci akan efektivitas karakterisasi yang sederhana namun unik dan menyajikan fungsi yang penting dalam memajukan plot. Marsha Timothy tidak perlu secara memainkan ekspresinya blak-blakan untuk menunjukkan karakternya ketakutan setengah mati akan dirampok seluruh haknya; Egi Fedly tidak perlu menggertak untuk menunjukkan bahwa ia tokoh yang intimidatif; Dea Panendra pas menjadi comic relief yang turut memajukan plot; akting Yoga Pratama sebenarnya cukup baik sebagai tokoh perampok, namun terasa lemah jika dibandingkan dengan Egi Fedly – mungkin  ada kaitannya dengan ia memerankan perampok termuda di kawanan Markus. Keserhanaan karakterisasi juga menciptakan interaksi yang terasa relatable, dan membuat pesan mengenai emansipasi perempuan yang ingin disampaikan begitu terselubung, bukan gaya menceramahi yang eksplisit nan vulgar ala film dokumenter tentang pemerkosaan.

Empat babak cerita berfungsi lebih dari sekedar gimmick untuk menjadi “nyeni” namun juga memberitahu penonton mengenai tema dan plot point, dengan tiap babak memiliki kekhasan tersendiri dibanding babak lainnya, sebuah pilihan tepat untuk mengakomodir alur cerita agar tidak terlalu cepat dan merusak atmosfer film. Sistem babak ini juga menjadi pelajaran singkat mengenai pentingnya membuat plot point yang jelas dan terstruktur, cocok untuk anda yang ingin mempelajari sistem babak dalam urutan acak ala Quentin Tarantino, mungkin?

“Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” merupakan sebuah pembuktian bahwa film independen dapat memenuhi nilai kesenian yang dibutuhkan film Indonesia untuk bersaing di kancah mancanegara, namun juga dapat memuaskan penonton lokal yang perlu inspirasi untuk dapat mencari kompromi antara sisi artistik dan komersial.

Penulis: Falah Hilmy – Fakultas Psikologi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *