#ReviewFilm – Ziarah: Perjalanan Sederhana Mencari Kebenaran

Ziarah merupakan debut film panjang sutradara film alternatif BW Purba Negara. Film-film pendek yang pernah ia sutradarai sebelumnya di antaranya Bermula dari A, Say Hello to Yellow, dan Jerat Samsara. Ia juga terlibat dalam penulisan film Another Trip to the Moon garapan sutradara Ismail Basbeth. Beberapa penghargaan yang telah diraih film ini antara lain nominasi kategori Penulis Skenario Asli Terbaik dalam FFI 2016, dan memenangkan Best Screenplay dan Special Jury Award dalam ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017.

Ziarah berkisah tentang perjalanan Mbah Sri (Ponco Sutiyem), sesosok lansia berusia nyaris 90 tahun, dalam pencarian makam suaminya yang kabarnya gugur di medan perang saat Agresi Militer II. Hanya satu tujuannya: ingin dimakamkan di sebelah suaminya. Suatu hari ia meninggalkan rumahnya tanpa pamit, menumpang bus menuju desa-desa asing hanya berbekal petunjuk para saksi sejarah dan cerita dari mulut ke mulut. Terbit keraguan saat menghadapi banyaknya versi sejarah mengenai akhir hidup sang suami dan tempat peristirahatan terakhirnya. Kepergian Mbah Sri turut mengkhawatirkan cucunya, Prapto (Rukman Rosadi), yang hendak melamar kekasihnya. Prapto pun mengikuti perjalanan Mbah Sri menelusuri sejarah. Namun, terkadang kebenaran terlalu pahit untuk dicecap, apalagi untuk dihidupi sampai akhir hayat.

Pengangkatan kehidupan masyarakat Jawa bukanlah hal baru dalam perfilman Indonesia dewasa ini.  Film-film lain di antaranya adalah Siti, Prenjak, Sunya, Turah, dan Istirahatlah Kata-Kata, dan hampir semua film ini meraih penghargaan dalam kompetisi film nasional maupun internasional.  Bahkan sebelum Ziarah, Siti dan Istirahatlah Kata-Kata sudah merambah ke layar lebar. Hal ini merupakan indikasi yang baik atas produktivitas kancah film alternatif di Jogjakarta maupun Indonesia, dan mulai diberikannya pengakuan bagi para filmmaker independen serta kemudahan untuk menampilkan  karyanya ke penonton yang lebih luas.

Seperti film bernuansa Jawa lainnya, kesederhanaan merupakan sesuatu yang kental dalam film ini. Bermula dari niat Mbah Sri yang polos dan sederhana: mengetahui kebenaran, agar ia bisa berdamai dengannya. Sesederhana keinginan Prapto untuk dapat menikah dengan kekasihnya.  Keduanya tetap teguh saat berhadapan dengan rintangan yang membuat situasi menjadi kompleks, namun tahu kapan harus mengikhlaskan dan legowo. Nuansa Jawa tak hanya hadir dalam latar dan bahasa, namun nilai-nilainya menjadi nyata dalam film ini.

Kesederhanaan juga mewujud dalam cara tutur sang sutradara. Percakapan jujur yang ngalor-ngidul kerap terdengar sepanjang film, entah mengenai peristiwa yang miris atau guyonan belaka, keduanya membentuk latar yang apa adanya bagi film. Narasi lisan juga kerap terdengar saat mengulang peristiwa masa lalu, namun film ini tak hanya berbicara dalam dialog. Apa yang tak dibicarakan juga menjadi penting. Ada motif di balik setiap aksi, dan setiap gestur mewakili makna yang kaya, mulai dari Mbah Sri menatap pemandangan di luar jendela bus, menebar bunga di tepi danau, tangannya yang gemetar saat mengambil cangkir teh. Dalam film ini, kadang diam pun berbicara.

Nyawa sebenarnya film ini dihidupkan oleh para pemeran. Pemeran Mbah Sri, Ponco Sutiyem, warga Gunung Kidul berusia 95 tahun, tak punya latar belakang akting sebelumnya. Namun ia mampu memerankan karakternya dengan sangat nyata, hingga beliau dinominasikan dalam kategori aktris terbaik di AIFFA 2017. Begitu juga Rukman Rosadi, yang dapat menampilkan tokoh Prapto yang nampak kebingungan menghadapi berbagai konflik sekaligus. Sementara peran-peran pendukung banyak melibatkan tokoh sejarah lokal demi menambah otentisitas cerita. Baik para tokoh sejarah maupun figuran lokal yang hanya mengucapkan sepatah dialog ikut memberikan warna bagi film, pembawaan mereka sangat lepas dan spontan.

Film ini juga memiliki kekurangan, salah satunya adalah babak kedua film yang penuh pengulangan, tidak memberikan efek lambat yang sesuai dengan visi film. Kemudian juga dalam aspek teknis yang kurang konsisten, beberapa adegan tampak diambil menggunakan alat yang berbeda-beda. Hal ini berpengaruh ke dalam kualitas gambar dan rasa yang ditimbulkan kepada penonton.

Namun yang terpenting adalah kesimpulan yang dapat diambil penonton setelah film ditutup dengan pahit. Di akhir film Mbah Sri memahami bahwa dalam hidup ada beberapa hal yang harus diikhlaskan. Secara implisit, film Ziarah juga menekankan pentingnya pencarian kebenaran dalam sejarah. Terkadang ada berbagai versi dari sejarah, dan apa yang kita ketahui tidak selalu benar. Kenyataan yang telah terjadi mungkin pahit, namun penting bagi kita untuk mengetahui dan menerimanya. BW Purba Negara mendapatkan inspirasi dari film ini saat ia menjadi sukarelawan bencana Tsunami Aceh, di mana banyak orang yang direnggut dari keluarganya dan tak ditemukan. Meskipun berasal dari peristiwa yang spesifik, pesan dari film ini masih relevan dan berkaitan erat dengan sejarah politik bangsa yang kelam. Ziarah berhasil menyampaikan pesan moralnya secara mengena tanpa terkesan menggurui.

Dini Adanurani, Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya

Photo: Film Ziarah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *