Tengkorak – Rediscovering Your Filmmaking Priorities

Mari kita bermain sesuatu bernama “ingatkah Anda kapan Indonesia membuat film penuh bergenre fiksi ilmiah alias sci-fi?” Aturannya sederhana: baca kembali judul permainannya karena itu instruksinya, lalu sebut satu judul di media sosial Sinematografi UI. Versi sulit: film yang rilis setelah “Janus Prajurit Terakhir” 15 tahun lalu.  Siapa yang berhasil menjawab dengan benar akan dapat… merasakan secara langsung harapan palsu.

Dari materi promosinya, tidak perlu seorang seorang profesional untuk tahu “Tengkorak” merupakan sebuah karya ambisius dari Yusron Fuadi, sang penulis / produser eksekutif / sutradara / aktor utama / director of photography / editor. Ia ingin membangkitkan gairah akan genre film yang telah lama tertidur di bumi perfilman Indonesia sekaligus disandingkan dengan nama-nama seperti Stanley Kubrick dan Andrey Tarkovsky dengan kearifan lokal. Ditambah tagline yang berani dan diplesternya nama-nama festival film internasional yang memasukkan film ini ke dalam seleksi resminya, sulit bagi saya untuk menurunkan ekspektasi – sekalipun mayoritas aktor dan krunya (termasuk Yusron Fuadi sendiri) adalah sivitas akademis Universitas Gadjah Mada, bukan profesional tulen. Maka dari itu, ada baiknya kita sepakat untuk tidak melakukan nitpicking yang terlalu dalam, karena saya gatal untuk melakukannya dan ada banyak yang dapat dikorek dan mengalihkan kita dari kualitas narasi film yang Anda harapkan.

Film dibuka dengan montase berita yang memberitakan penemuan tengkorak raksasa di utara Yogyakarta pasca gempa 2006. Tengkorak setinggi 1,8 kilometer (!!) itu seketika menjadi sensasi yang memicu banyak perdebatan dan kontroversi di seluruh kalangan di seluruh dunia mengenai asal-usulnya dan dampaknya pada eksistensi manusia.  Intro merupakan bagian terbaik dengan eksekusi yang meyakinkan saya bahwa semua montase itu berasal dari berita betulan.

Sayangnya fokus cerita lenyap seketika kita meninggalkan act pertama, karena setelahnya, fokus berpindah pada dua tokoh utama yang sumpah demi Tuhan tidak bisa saya ingat. Yang pasti ada Si Mahasiswi (diperankan oleh Eka Nusa Pertiwi) yang magang di Black Site situs Tengkorak, dan Si Mantan Black Op (Yusron Fuadi) yang jatuh cinta pada Si Mahasiswi karena alasan yang tak logis – sebuah ironi karena Mahasiswi sempat berselisih dengan Black Op yang didebat logikanya dalam menentukan prioritas misinya.

Berbicara tentang prioritas, itulah masalah utama dalam film ini. Di atas kertas, konsepnya sudah sesuai akan kaidah film yang baik: show, don’t tell. Ketika ditonton langsung, tampak bahwa adegan yang ditampilkan punya lebih banyak adegan selingan dibanding serial animasi “One Piece” dan lebih fokus pada seberapa banyak poin pretensius dan seberapa keren adegan laga yang dapat dimuat. Penonton malah terbelok cukup jauh dari fokus utama ceritanya: si tengkorak raksasa itu (kenapa fokus malah pada romansa Mahasiswi dan Black Op? Substansi apa yang membuat subplot Sekte Pemuja Tengkorak tanpa mengaitkan dengan fokus utama maupun latar belakang tokohnya?) sehingga ketika penonton kembali fokus di tiga act terakhir, hilang sudah minat untuk mengikuti alur sesuai premisnya.

Di sisi yang tersebutkan, kebanyakan informasi yang penonton dapatkan berasal dari eksposisi, entah dalam bentuk montase berita atau percakapan, sesuatu yang menghilangkan nuansa dan kedalaman cerita. Ada alasan mengapa Kubrick dan Tarkovsky dianggap memilki karya yang kompleks – karena mereka mati-matian menghindari eksposisi yang berlebihan.

Prioritas yang berantakan malah membuat banyaknya plot hole dalam film karena apa yang sebenarnya bisa dimasukkan. Memang benar kaidahnya bahwa film yang baik mampu membuat penonton menghubungkan pecahan dari tiap adegan menjadi satu kisah yang utuh. Namun perlu diingat, pecahan yang terlalu rancu bentuknya hanya akan berakhir menyesatkan penontonnya dan kalaupun tersusun, kisah yang ditampilkan tidak menyatu dengan baik dan utuh. Selain itu, masalah prioritas juga menyebabkan semua karakter utamanya sehebat Will Smith dan Kevin Costner di trilogi “Men In Black:” tak bisa diingat karakteristiknya.

Pada akhirnya, saya mendapati pelajaran dari film ini, bahwa prestasi itu selalu baik, namun diri tetaplah sejati. Ambisi boleh tinggi, namun selalu ingat akan jati diri yang membuat karya kita mampu berdiri dengan kaki-kakinya sendiri. Dan apabila Anda membela film ini hanya karena nama festival yang dipajang dengan bangga, perlu diingat bahwa baik “Grace of Monaco” (sutradara Olivier Dahan, 2014) dan “United Passion” (sutradara Frédéric Auburtin, 2015) sama-sama menjadi film pembuka di Cannes Film Festival dan keduanya dihantui masalah yang sama dengan “Tengkorak”: penuh ego, lupa fokus, dan maha pretensius.

Genre                  :  Fiksi ilmiah, Laga

Sutradara            :  Yusron Fuadi

Penulis                 :  Yusron Fuadi

Produser              :  Anindita Suryarasmi, Athanasia Irene, Munandar Aji

Durasi                  :  108 menit

 

oleh: Falah Hilmy

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *