#ReviewFillm – Kartini: Apa Aku Boleh Punya Pilihan Lain?

 

Sejak rilis 19 April lalu, film Kartini sudah berhasil mengantongi lebih dari 300.000 penonton. Film garapan Hanung Bramantyo ini ikut meramaikan sederetan film Indonesia lain yang juga rilis di bulan April seperti The Guys, Stips dan Pensil, juga The Curse. Namun, ditengah maraknya film lain, Kartini membawa nuansa berbeda dan mengagumkan yang pastinya harus dan tidak boleh dilewatkan oleh para penikmat film.

 

Kartini bercerita tentang kehidupan seorang emansipator wanita yang sangat melegenda yaitu Raden Ajeng Kartini. Film ini mengulik kehidupan Kartini sejak kecil hingga perjuangannya dalam menyetarakan hak setiap kalangan. Dikisahkan bagaimana perubahan menjadi sesuatu yang tabu untuk dilakukan dalam tradisi adat Jawa dimasanya.

 

Dari segi pemilihan pemain, film ini patut diancungi jempol. Pasalnya, para pemain yang terlibat memang aktor dan artis kebanggaan tanah air. Sebut saja Dian Sastro, ia mampu memerankan Kartini dengan sangat apik dan pas. Aktingnya tetap konsisten dan aman seperti di film Ada Apa Dengan Cinta? 2. Tantangan untuk menunjukan sisi ‘kelaki-lakian’ seorang wanita mampu dijawab oleh Dian Sastro dalam film ini. Hal serupa terjadi pada Ayu Sitha sebagai Kardinah dan Acha Septriasa sebagai Roekmini yang juga tampil memukau. Mereka bertiga melengkapi trio daun semanggi dengan kompak dan berkemistri. Pujian juga patut diberikan pada artis senior, Djenar Maesa Ayu. Permainannya tak banyak bicara tapi ekspresi wajahnya mampu menjelaskan semuanya, ia memerankan tokoh ibu tiri Kartini dengan sangat luar biasa. Tak ketinggalan ada Christine Hakim yang memerankan Ngasirah yaitu ibu kandung Kartini. Kepedihan seorang ibu benar-benar bisa dirasakan dalam permainannya. Selain itu, sederetan artis lain seperti Deddy Sutomo, Reza Rahadian, Adinia Wirasti, dan Denny Sumargo juga tampil sangat baik.

 

Menuangkan cerita sejarah dalam film layar lebar merupakan tantangan besar. Jika eksekusi gagal, hasilnya tentu membosankan dan menimbulkan pertanyaan. Namun, film produksi Legacy Pictures dan Screenplay Films ini mampu melewatinya. Makna di film Kartini yang dalam, sangat menginspirasi dan bisa diterima oleh seluruh kalangan penonton, menyiratkan pesan dan pengetahuan akan budaya juga bahasa.

 

Bumbu-bumbu konflik yang diatur sedemikian rupa, membuat alur film ini menghasilkan gelombang emosi yang luar biasa. Bisa dijamin tidak membosankan dan ingin menanti adegan-adegan selanjutnya. Inilah keunggulan utama dari Kartini. Penonton akan diajak berpetualang selama 122 menit, merasakan intrik yang memancing emosi, dibawa ke adegan yang membahagiakan, lalu langsung dilempar ke adegan menegangkan dan mengaharukan. Sungguh luar biasa! Misalnya saja, perdebatan saat Kartini dan saudarinya keluar dari pingitan, perasaan bahagia ketika artikel pertama Kartini berhasil diterbitkan, disusul dengan marahnya Ibu tiri Kartini yang kemudian memisahkan Kartini dengan Roekmini. Adegan yang tak kalah menyedihkan adalah ketika Kardinah dikawinkan secara paksa dan bernekat bunuh diri. Hingga tiba di adegan saat Kartini juga harus menikah, dan berpamitan dengan ibu kadungnya, Ngasirah. Sangat mengharukan dan menyetuh hati. Ada juga adegan tak disangka dan mengejutkan seperti saat Raden Mas Slamet (Denny Sumargo) mau menuliskan syarat pernikahan Kartini padahal sifatnya yang keras pada Kartini. Tapi tenang saja, film ini juga menyuguhkan beberapa komedi ringan agar penonton bisa beristirahat sejenak! Misalnya saja, saat Kartini mengirim surat diam-diam dan berhasil mengelabui kakaknya, Raden Mas Slamet. Beragam tingkah laku dari trio daun semanggi juga menciptakan gelak tawa.

 

Tentu emosi tersebut tidak bisa dicapai tanpa tata musik yang mumpuni. Film Kartini diolah sangat rapi, sehingga penempatan musik kidung yang indah juga backsound dalam adegannya bisa membawa penonton terhanyut dalam tiap adegan. Teknik pengambilan gambarnya juga perlu diapresiasi. Penggambaran adegan saat Kartini membaca buku kemudian muncul ilustrasi dalam pikirannya membuat imajinasi penonton semakin terbuka dan tidak disangka.

 

Namun sangat disayangkan, penggambaran awal film yang sudah dibuat menegangkan kemudian sedikit terganggu dengan narasi teks yang terlalu banyak di awal film. Hal ini dirasa dapat membuat penonton kebanjiran informasi di bagian awal. Selain itu, penggunaan anak-anak dalam sebuah film memang menjadi sebuah ancaman tersendiri jika tidak bagus dalam eksekusi. Hal ini tampak pada film Kartini yang menampilkan akting anak-anak yang kurang natural, sangat disayangkan sekali.

 

Terlepas dari segala kekurangan tersebut, film Kartini mampu menutupi semua itu dengan segala keunggulan yang disajikan. Film yang inspiratif ini sudah sepatutnya bisa dan wajib dinikmati oleh semua kalangan, selain mengetahui jalan cerita sejarah, kita juga dimanjakan dengan pengambilan gambar, suara, penggambaran emosi tiap adegan, dialog, dan akting para pemainnya. Hingga awal Mei ini,  film Kartini masih menginjak sekitar 300.000 penonton, berbeda drastis dengan Danur yang jauh diatas 2 juta. Hal ini sangat disayangkan mengingat berbagai keunggulan yang disuguhkan Kartini sangat luar biasa.

 

Penulis: Kadek Andre Setiawan, Psikologi, Fakultas Psikologi

Photo: bintang.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *