LIMA

Pancasila.

Seperangkat gagasan luhur tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, setara dan mewakili seluruh rakyat Indonesia. Lebih dari tujuh dasawarsa sejak Panitia Pelaksanaan Kemerdakaan Indonesia menyusun lima poin sesederhana mungkin agar seluruh rakyat Indonesia memiliki pemaknaan yang sama seperti yang diharapkan oleh para penyusunnya. Pada kenyataannya, tidak ada satupun dari kita yang terlahir seratus persen sama; begitu banyak peristiwa dalam hidup yang membuat saya, Anda, kedua penulis dan lima(!!) sutradara film ini memiliki pandangan yang berbeda akan Pancasila, terlepas dari kesamaan kata ketika disuruh mengingat isinya.

“Lima” adalah sebuah omnibus berisi lima kisah dari satu keluarga campur sari, masing-masing merepresentasikan tiap poin Pancasila dan ini sudah tersirat dari materi promosinya jadi Anda tidak perlu takut spoiler. Tokoh sentral dalam film ini adalah Maryam (diperankan oleh Ken Zuraida) yang baru saja meninggal, memancing konflik pada ketiga anaknya: si sulung Fara (Prisia Nasution) ingin memakamkan ibunya dengan cara Islami, Aryo (Yoga Pratama) si anak tengah ingin memakamkan dengan cara Kristen, sementara Adi (Baskara Mahendra) si bungsu ingin agar gigi palsu ibunya tidak dilepas ketika dikubur, dan Bi Ijah (Dewi Pakis) si asisten rumah tangga yang berharap mereka tetap bersatu setelah kepergian ibu mereka.

Tokoh lain pun memiliki persoalannya tersendiri: Fara dihadapkan pada pilihan antara mempertahankan profesinya sebagai pelatih tim renang atau keputusannya dalam memilih perwakilan untuk Asian Games; Aryo sebagai co-founder sebuah fashion distro harus memilih antara mengikuti selera pasar dan keinginan partnernya, atau menjadi anti-mainstream dan beresiko bangkrut; Adi yang berusaha menjadi diri sendiri meskipun dihadapi ancaman sosial; Bi Ijah yang ingin pulang kampung dan mengurus anak-anaknya yang lama tidak terdengar kabarnya meskipun dihadapkan keberatan dari ketiga anak Maryam.

Menyajikan lima kisah berbeda dalam durasi kurang dari dua jam beresiko membuat penyusunan narasi yang terburu-buru, belum lagi dengan banyaknya sutradara dengan pemaknaan naskahnya masing-masing dapat mengganggu konsistensi cerita. Benar saja, dari semua tokoh, hanya Maryam yang karakternya cukup tergambar (tapi ya, bagaimana mengembangkan tokoh yang mati di lima menit pertama?) dan memancing pergantian fokus narasi ke tokoh lain. Tiap kisah memiliki ciri khas tersendiri, baik kelebihan maupun kekurangannya: dialog dalam kisah Fara sederhana namun efektif, sayangnya usaha untuk membangun urgensinya kurang sehingga plot twist yang dipersiapkan terasa kurang memuaskan; kisah Aryo malah terbalik, dengan urgensi yang tergambar apik namun tanpa resolusi yang jelas; antara orientasi dan konflik di kisah Adi malah tidak nyambung, meskipun menegangkan, lalu diselesaikan tanpa resolusi yang terasa memuaskan; Kisah Bi Ijah malah tidak berfokus pada Bi Ijah melainkan pada anak-anaknya, selain merusak tempo film secara keseluruhan, juga membuat tokoh Bi Ijah menjadi yang paling lemah meskipun penyajiannya memiliki kelebihan tersendiri.

Terlepas dari masalah-masalah yang merundung penyampaian cerita, kekuatan dalam “Lima” ada pada penuansaan di tiap skena. Pergerakan kamera yang pelan dan halus, minim quick cut dan pacing yang tergolong lambat memang berkontribusi mengganggu struktur narasi, di sisi lain hal ini justru membantu penonton memahami apa yang terjadi pada skena sehingga lebih mudah dicerna. Pacing juga berhasil mengangkat kesan lembut dan tenang dari kehidupan berpancasila kelima tokoh ini, yang dibumbui scoring minimalis dan misterius di momen yang tepat, menambah kesan syahdu tiap kisah yang ditampilkan (pemakaian solo nasyid dan koor gospel di kisah Maryam menjadi highlight point bagi saya). Dialog yang natural dan berbobot lebih dari sekedar memulas akting para aktornya yang standar, malah memberikan bisa menjadi contoh menulis dialog pada film komersil yang efektif, terutama pada kisah Fara dan Bi Ijah. Bahkan di kisah Adi dan Bi Ijah, penuansaan dan pacing pada plot mereka mampu memperbaiki penyusunan dan konsistensi cerita keseluruhan dengan memasukkan unsur suspense yang hebat karena kadarnya pas.

Pada akhirnya, omnibus ini sendiri seperti Pancasila yang memang tidak sempurna, namun gagasannya dan tujuannya mulia. Secara teknis, konsistensi dan struktur cerita pada tiap potongan kisah masih perlu ditingkatkan, namun jika kisahnya dinikmati dalam porsi satuan, pada akhirnya “Lima” berhasil memberikan konteks pada pemaknaan Pancasila dalam kehidupan fana ini.

 

Genre          :  Drama

Sutradara    :  Salahuddin Siregar, Tika Pramesti, Lola Amaria, Harvan Agustriansyah, Adriyanto Dewo

Penulis        :  Lola Amaria, Titien Wattimena

Produser     :  Lola Amaria

Durasi         :  110 menit

 

 

oleh Falah Hilmy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *