#ReviewFilm – Dunkirk: Harapan Segar untuk Sebuah Tema Cerita Basi

Tema seputar Perang Dunia II mungkin merupakan tema paling pasaran yang pernah diciptakan oleh Hollywood, dan hampir selalu memakai formula eksibisi keperkasaan pasukan sekutu dalam menghajar pasukan Nazi di medan tempur Eropa semudah orang Indonesia melakukan korupsi. Di antara lautan film bertemakan Perang Dunia II, Chris Nolan melakukan pendekatan berbeda: dengan mengadaptasi kisah nyata tentang operasi evakuasi ketika Perancis dan Inggris di ambang kekalahan oleh pasukan Jerman, tokoh jagoannya tidak punya kesempatan menang dan satu-satunya harapan hidup adalah menyebrang lautan dan memilih kapal yang tepat.

Untuk ukuran film berdana besar, Dunkirk merupakan film yang sangat minimalistik. Dunkirk juga menunjukkan kemampuan Chris Nolan tanpa pendekatan khasnya; tidak ada lagi kisah surealis pembuat sakit kepala, tidak juga monolog/dialog eksposisi berlebihan, permainan efek praktis revolusioner, dan durasi di atas dua jam 15 menit. Yang tersisa hanya kisah perjuangan prajurit Inggris dan Perancis mempertahankan asa, dipresentasikan dari mata tiga pihak Inggris: seorang prajurit infranteri (Harry Styles), seorang pilot pesawat tempur (Tom Hardy), dan pelaut sipil (Mark Rylance) beserta kedua anaknya (Jack Lowden dan Tom Glynn-Carney).

Ketiga perspektif disajikan cukup proporsional dan saling berkesinambungan, tanpa interaksi antar perspektif kecuali sebatas menyaksikan dari sudut pandang lain. Ketiadaan heroisme membuat seluruh karakter nyaris anonim. Penulis sempat berpikir untuk mencantumkan nama setiap karakter signifikan dengan memfoto dan mencontek credit roll, namun apa fungsi nama jika tidak ada kualitas khusus yang membedakan – katakanlah – pilot A dan pilot B?

Selaras dengan realisme yang ingin diangkat Nolan, departemen suara tidak hanya memperdengarkan efek-efek yang nyata dan bombastis, namun juga mampu memberi dinamika ruang yang jelas yang lebih dari sekedar pemanis presentasi. Scoring dari Hans Zimmer pun tidak lagi sebuah orkestra megah, hanya aransemen monoton pengiring adegan, namun sebagai representasi dari psikis mereka yang sedang menjemput harapan. Sebuah langkah segar dan positif bagi sang komposer untuk keluar dari zona amannya. Untuk bisa menikmati pengalaman visual Dunkirk sepenuhnya, sangat disarankan untuk menonton versi IMAX.

Dibanding film seputar Perang Dunia II pada umumnya, tingkat kekerasan di sini jauh berkebalikan dengan, contoh, Saving Private Ryan (1998) yang sangat realistis, maupun Inglorious Basterds (2009) yang bagai kartun sadis. Anda bisa menikmati Dunkirk dengan anak usia Taman Kanak-kanak baik-baik saja, di luar tiga kata “fuck” yang muncul. Editing visual tersaji secara rapi, efektif, dan apabila dikomparasi dengan karya Nolan sebelumnya, tampak paling sederhana, bahkan dibanding film-film pendeknya. Tidak ada trik-trik revolusioner macam Inception (2010) maupun Interstellar (2014). Semua nampak apa adanya, kusam dan monoton di satu sisi, namun cerah dan berwarna di seberang lautan.

Secara singkat, Dunkirk merupakan sajian segar yang disiapkan dari tema basi. Narasi kengerian perang super minim nan relatif ramah keluarga, dikemas secara datar namun efektif diiringi sound effect fantastis. Oh, dan jika Anda ingin mendebat kalimat makian di paragraf sebelumnya, apa fungsinya menyensor kalau setiap hari Anda membaca komentar netizen Indonesia yang seganas medan perang?

Penulis: Falah Hilmy – Fakultas Psikologi

Foto: Indiwire.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *