#ReviewFilm – Spider-Man: Homecoming – Mengayun ke Formula Marvel Studio

Adalah lumrah untuk Marvel Studio mempertahankan posisinya sebagai pemilik franchise film tersukses di dunia dengan pendapatan kotor per film berada di kisaran 7 trilyun rupiah. Pun adalah lumrah jika kembalinya hak cipta Spider-Man dari Sony ke Marvel mengawali pengulangan saga Spider-Man untuk ketiga kalinya sebagai langkah kongruensi dengan Semesta Film Marvel yang dimulai sejak Captain America: Civil War tahun 2016. Lupakan cerita asal mula Spider-Man, kurangi jumlah subplot, ganti tokoh pujaan hatinya, dan jangan berharap akan tone yang edgy. Gampangnya, jangan terlalu berharap akan aksi-aksi seperti Avengers (2012) atau Captain America: Civil War (2016).

Cerita tentu saja berfokus pada Spider-Man (kali ini diperankan Tom Holland), sang manusia laba-laba yang baru saja kembali dari tawuran antar pahlawan super pada Civil War dalam kisahnya membuktikan diri pada mentornya, Tony Stark alias Iron Man (Robert Downey Jr.) bahwa ia pantas menjadi anggota Avengers dengan menantang pencipta senjata super bernama Vulture (Michael Keaton). Di sisi lain, sebagai Peter Parker si ABG genius nan culun dalam kisahnya membuktikan diri pada gebetannya, Liz (Laura Harrier) bahwa ia pantas menjadi kekasihnya. Tema kisah pembuktian diri dan keresahan remaja lantas tak membuktikan Spider-Man: Homecoming lebih menonjol akibat pemakaian formula Marvel campur formula drama remaja: fokuskan cerita pada sosok asli dan bukan sosok pahlawan, antagonis generik – harus diakui karakter Loki di Avengers dan Thor (2011) sulit ditandingi, kroco berkarakter tangguh – bukan perempuan namun tetap terasa biasa, kroni generik multirasial, demi rating PG-13 dan jiwa liberalisme yang menggelora dalam jiwa Marvel Studio.

Tom Holland memimpin jajaran aktor yang diremajakan, dan ia sukses menangani kedua kutub karakter ikonik itu. Sebagai Peter Parker, Holland mampu mengantar sosok Peter Parker nan lugu, submisif, dan bersahaja. Sebagai Spider-Man, lagaknya cukup jenaka dan arogan dalam menvandalisasi gedung-gedung dan penjahat kecil-kecilan dengan jaringnya. Memang tidak sebaik Peter Parker era Tobey Maguire dan Spider-Man era Andrew Garfield, Holland masih perlu belajar untuk melebihi Maguire dan Garfield di tiap kutub karakternya. Sementara Michael Keaton tetap menjadi Michael Keaton. Aktingnya luar biasa di Birdman (2014) dan eksekutif Homecoming tahu itu, sehingga hasilnya hanya karakter Keaton sebagai Vulture tak lebih dari jiplakan Birdman. Sisanya adalah sekumpulan karakter satu dimensi yang memang penting, namun terlupakan, sebagaimana formula film Marvel. Pengecualian untuk Robert Downey Jr. yang memang sudah terlanjut terkembang di trilogi Iron Man, begitupun Jon Favreau yang memerankan supir Tony Stark. Untunglah semua karakter dengan dialog memiliki peran dalam memajukan plot.

Sebagai film pahlawan super, tentu saja dagangan utama Homecoming adalah aksi-aksi seru. Kali ini aksi-aksi tersebut disederhanakan, diturunkan kompleksitas maupun tensinya, agar sejalan dengan sosok Spider-Man yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sayangnya film ini membuang ciri khas menampilkan reaksi warga Kota New York akan heroisme Spider-Man kecuali melalui YouTube, sehingga ciri khas sosok penyemprot jaring laba-laba yang mudah akrab dengan penonton luntur. Lainnya yang disederhanakan dalam Homecoming adalah subplot romantis yang kali ini terjahit rapi dengan plot utama tanpa plot twist yang merusak cerita. Jon Watts memang nampak hanya ingin berfokus pada karakterisasi Spider-Man dan integrasinya dengan Semesta Film Marvel, untunglah ia mampu merangkai seluruh elemen tersebut dengan rapi dan apik.

Akhir kata, Spider-Man: Homecoming merupakan tombol reset besar bagi serial Spider-Man yang takut untuk keluar dari zona aman penciptanya, terlepas dari seberapa apik rajutan tersebut. Nikmati saja film ini apa adanya, berfantasi tentang Civil War tapi tak perlu mengharapkan atraksi audiovisual yang mencengangkan atau bersiaplah untuk sedikit kecewa. Sementara untuk yang berharap akan kisah seorang remaja super, tidak perlu meletakkan ekspektasi setinggi Sang Pemimpi (2010) atau Blue is the Warmest Colour (2013).

Penulis: Falah Hilmy – Fakultas Psikologi

Foto: Comic Book

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *